
Anak, Bapak, dan Burung Gereja
(Oleh: Farhan Al Fattah)
Tatkala angin berhembus dengan
silirnya di bulan April menyapu dedaunan kering yang jatuh dari pohon disertai
alunan melodi lantunan para burung gereja, Bapak dan Anak itu duduk dengan
nyamannya di sebuah kursi usang yang masih berdiri kokoh di pojok taman depan istananya
yaitu rumah. Warna hijau dari dedaunan yang dipantulkan oleh sang raja menambah
kenyamanan tiada tara. Air mancur cantik bergemiricik bak tawa terbawa akan
kemesraan antara Bapak dan Anak itu.
Keceriaan dan semangat di bawah
naungan pagi yang bersinar itu dimanfaatkan Anak dengan menggunakan mata
tajamnya untuk membaca kata demi kata yang tersusun rapi di atas koran barunya
seakan-akannya terbawa terbang oleh silir angin dan Si Ayah menemani dia dengan
penuh kesetiaan disampingnya.
Tiba-tiba, seekor burung turun
dari sangkarnya tepat di depan Bapak dan Anak itu. Dengan penuh keingin tahuan
Bapak bertanya kepada Anaknya.
“Nak, itu apa?”
“Itu burung gereja.” Lalu ia
melanjutkan memakan korannya.
Tak lama kemudian Bapak itu
bertanya lagi kepada anaknya dengan menunjuk ke arah semak-semak.
“Nak itu apa?”
“Itu burung gereja! Kan sudah
kukatakan tadi!” Amarah si Anak mulai naik karena api yang mulai menyulut
hatinya
Untuk ketiga kalinya, Bapak
yang sudah beruban itu bertanya lagi dengan penuh penasaran sambil menunjuk ke
atas pohon yang terletak tidak jauh dari kursi using yang mereka duduki.
“Nak itu apa?”
Tadi sudah kukatakan. Itu
adalah burung gereja! BU-RUNG GE-RE-JA! Mengapa sih pak bertanya kepadaku
terus? Ada yang salah dengan burung gereja itu? Sudahlah lupakan tentang burung
itu! Itu hanya burung gereja!” Amarah si Anak sudah membara sampai ke atas
ubun-ubunnya karena berbuatan Bapaknya yang sangat bersifat kekanak-kanakan.
Setelah dia memarahi Bapaknya,
dia nampak kelihatan sangat naif dan kecewa akan perkataan dan perbuatan yang
telah dia lontarkan kepada Ayahnya. Ayah
hanya diam tanpa kata setelah menerima perbuatan Anaknya itu dan melanjutkan
untuk berdiri lalu melangkahkan kaki tuanya untuk berjalan. Anak dengan penuh
kekecewaan bertanya kepada Bapaknya.
“Pak, mau kemana?” Bapak itu
tetap saja diam tanpa kata.
Tak lama setelah itu, Bapak itu
kembali dan membawa sesuatu yang ia bawa di tangannya yang dia ambil dari
rumahnya.
“Nak, bacalah ini.”
“Apa ini, Pak?”
“Cepat, bacalah saja.”
Anak dengan penasaran membaca
secara seksama buku itu dan membiarkan hembusan angin yang selalu menyapanya.
Ternyata di dalam buku itu tertulis.
“Hari ini anakku yang telah
berumur 3 tahun duduk di sampingku. Dia bertanya kepadaku tentang apa yang baru
saja ia lihat yaitu burung gereja. Dia bertanya kepadaku sebanyak 21 kali tapi
aku selalu menjawabnya dengan penuh pelukan dan kasih sayang setiap kali dia
bertanya kepadaku. Aku sangat bahagia karena anakku sudah beranjak mengerti apa
yang dia lihat dengan matanya yang tajam itu”
Terlihat dari raut wajahnya,
sejenak benak Anak itu sangat luluh sampai-sampai meneteskan badai air mata
saat menatap dan memperhatikan petik demi petik yang tertorehkan di atas buku
itu. Keceriaan yang telah tersaksikan oleh alam tiba-tiba disapu pergi oleh
angina dan digantikan oleh suasana keharuan. Anak memeluk Bapaknya erat-erat
dengan penuh kasih sayang dan akhirnya mereka kembali ke istananya sambil
membawa senyuman kebahagiaan yang tak akan mereka lupakan.
Sumber: Cerita ini dikutip dari sebuah video inspiratif
0 komentar:
Posting Komentar