Ceritanya beberapa waktu yang lalu gue ikut lomba cerpen yang ngadain FK UNAIR. Nahh, hasilnya di pengumuman gak ada. Jadi gue post aja dah. Maaf kalau judul sama isinya gak nyambung 😅
ENJOY IT!!
![]() |
https://www.facebook.com/663050137125061/photos/pb.663050137125061.-2207520000.1481211655./1170381249725278/?type=3&theater |
Waktu menunjukkan sepertiga
malam. Angin menembus lubang-lubang ventilasi kamarku dengan cara menyelundup
lalu menggelitik-gelitik tubuhku. Akupun mulai mengucek-ucek kelopak mataku dan
membuka mata. Kulihat dunia masih gelap, hanya suara jangkrik dan tetesan air kran yang menemani. Tenggorokan
serak masih kurasakan maka bergegaslah aku minum teguk demi teguk air yang
kuletakkan di atas dampar tua sebelum berenang di lautan mimpi. Larut sudah
serak ini dan akupun beranjak dari ranjang empukku menuju kamar mandi pojok
bilikku ‘tuk memburu air kesucian. Tubuhku gemetar tak karuan saat air itu
membelai kulit ariku. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatku memburu air
tersebut sebagai syaratku bertemu dengan-Nya di waktu mustajabah ini. Seluruh
isi kalbuku t’lah ku curahkan dengan-Nya. Sarung kusam yang kukenakan mengingatkanku
pada suatu peristiwa.
***
Mentari mulai melahap sang
bintang dan menghamburkan semburat kuning dari ufuk timur. Air embun masih
berayun-berayun di atas lembaran hijau samping pekarangan. Kain putih bergaris
biru masih membungkusku dari dinginnya malam. Alarm meronta-ronta ingin segera
di matikan. Jarum menunjukkan pukul 08.00 WIB dan tubuhku masih
bermalas-malasan seakan tak ada kemauan ‘tuk
bangkit.
Petir tiba-tiba menyambar pintu bilikku.
“Le, bangun le. Cepat mandi,
sarapan, dan berangkat sekolah! Nanti kamu telat!”
Siapalagi kalau bukan Ibuku. Bergegaslah aku
menyikat gigi tanpa membasuh badan kotorku, Karena sudah lebih dari jam 8.
Sudah jadi kebiasaan telat bagi orang sepertiku, masuk ruang BK bak sebuah
sarapan nikmat, lari memutari lapangan 8 kali juga. Aku yakin bahwa sekolah itu cuma formalitas belaka,
dengan jerit payah dihukum lari memutari lapangan pasti aku akan meraih cita-citaku
yaitu memakai seragam abuabu, berpangkat di pundak kanan dan kiri, memakai topi
hitam melengkung ke atas apalagi kalau bukan polisi.
“Sepeda ninja siap, helm siap,
berangkat!”
Susu segar aku bawa dari kotak es
persegi panjang warna biru, aku sruput melalui pipet bening, menikmati segar
dan sensasinya dengan masih mengendarai ninja. Lama kelamaan kubus berisi susu
itu habis. Tanpa berpikir panjang langsung ku lempar kubus sisa susu ini ke
sungai coklat sebelah kiri yang ku lalui.
Ku tak pernah melaksanakan piket,
kerja bakti pun tidak. Menyapu atau merawat tanaman itu bukanlah kesukaanku.
Alam bagiku mimpi buruk. Aku lebih suka melatih fisikku untuk mempersiapkannya
masuk kepolisian. Biar orang berkata apa, menganggap aku pemalas, egois, gila atau apapun itu aku tak peduli. Yang penting
aku bisa memetik impianku, karena inilah jalan hidupku.
***
Mei ceria menghiasi seragam putih
abu-abuku. Tanda tangan dan coretan-coretan tinta warna-warni terukir juga di
sana.
“Brummm brum brumm…..”
Konvoi keliling kota laksana berselancar di
samudra luas. Akhirnya aku lulus dengan nilai yang lumayan memuaskan. Bapak dan
ibu guru memberi selamat kepadaku serta ibu kantin yang selalu memberi asupan
nutrisi semasa sekolah menengah atas kepadaku juga memberikan ucapan selamat.
Ibuku menyiapkan urap-urap dan trancam sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
***
Hari bergati bulan, bulan
berganti tahun. Pohon jati depan pekarangan mulai merontokkan daun keringnya.
Ku siap mengikuti tes tahap awalku masuk kepolisian. Tes tulis berhasil aku
lompati, tes sememaptaan sukses aku arungi. 2 hari lagi tes wawanncara. Aku
harus mempersiapkan matang-matang agar aku bisa meraih cita-citaku ini.
2 hari terlah berlari, saatnya
untuk masuk pada tahap penentuan. Duduk di kursi aluminium berwarna silver dan
mengkilat saat terkena sinar, detak jantung berdebar tak karuan menunggu namaku
dipanggil melalui corong putih yang tergantung di atas tembok. Kuambil gadget
dari saku celanaku, lalu mengetik pesan untuk Ibuku agar suasana mungkin
menjadi agak lebih tenang.
“Saudara Parja….”
Kurapikan terlebih dahulu bajuku.
Detak jantungku masih saja berdebar-debar terlihat dari dada sebelah kiri yang
selalu menggerakkan baju rapiku. Kaki melangkah pelan-pelan melewati petak
coklat segi empat. Inilah waktunya untuk membuka daun pintu itu.
“Benar dengan Saudara Parja?”
“Iya, benar Bapak.”
“Silahkan duduk.”
Pertanyaan demi pertanyaan beliau
sodorkan padaku. Dengan percaya diri aku jawab tanpa rasa ragu, sampai akhir
pertanyaan pun aku lancar menjawabnya.
Dari jendela ruang wawancara, ku
tatap langit menjatuhkan rintik-rintik kemuliaan-Nya. Mungkin ini pertanda aku
lolos tes wawancara ini, sebab ku yakin bahwa hasil ku takkan menghianati
usahaku ini. Tinggal menunggu hasil.
Berjam-jam aku menunggu dan
akhirya hasil telah ditempelkan di papan informasi. Banyak sekali peserta lain
yang berebut sampai berjubel-jubel tak sabar melihat hasil dari tes penentuan
ini. Suasana kecewa terlukiskan di wajah para peserta yang tak lolos dan
suasana sumringah tergambarkan di wajah para peserta yang lolos. Depan papan
informasi lambat laun mulai sepi dan ku mulai mendekatinya. Jariku menyisir
tabel-tabel nama yang terpampang disitu. Aku sempat bingung.
“Mana namaku?
Kok nggak ada?
Mana namaku?
Masa.. masa aku gak lolos?
Gak mungkin. Ini tidak mungkin!!”
Desember suram terlihat dari raut
wajahku, karena kegagalan yang masih terngiang-ngiang di anganku. Berjalan
serempetan menuju tempat parkir. Tak ku sangka kalau akhirnya seperti ini. Aku
berpikir Tuhan tidak adil, Tuhan pelit, Tuhan tidak bijaksana.
“Apa yang telah kulakukan
sebenarnya?
Mengapa aku seperti ini?
Apa yang harus kulakukan? “
Tiba-tiba seorang lelaki berjubah
putih menepuk pundakku dengan kerasnya dan lanjut meninggalkanku begitu saja.
Lantasku ku berteriak.
“Hei! Siapa kau? Berani-berani
menepuk pundakku! Hei kamu! Berhenti!”
Orang itu tidak menggubrisku sama
sekali. Berkali-kali ku berteriak sampai suaraku serak pun dia tidak menjawab
pertanyaanku. Alhasil ku ikuti orang itu,
Langkah cepatnya tak kuasa aku
ikuti, akhirnya aku beristirahat sejenak ‘tuk mengumpulkan tenaga. Setelah
terkumpul kulihat orang itu sudah menghilang entah kemana. Orang itu tiba-tiba
berada di belakangku. Aku terpaku ditatapannya, ku tak bisa membuka mulut,
serasa dibungkam mati-matian. Kemudian dia memegang pergelangan tangan kananku
dan mengajakku ke suatu tempat.
Ternyata orang itu mengajakku ke
tempat yang beberapa tahun yang lalu aku lewati. Dan tempat itu adalah sungai
coklat yang aku lempari kotak sisa susuku. Sungai itu berbicara kepadaku,
“Mengapa kau melempariku dengan
kotak busukmu itu? Tak ada tempat lainkah yang pantas kau jadikan tempat
sampah? Aku diciptakan oleh ALLAH SWT untuk membantu para manusia untuk
mencukupi kebutuhan air mereka. Aku adalah salah satu ciptakan ALLAH SWT yang
sangat mulia, Bisa jadi nanti kamu akan membuang sampah di tempat yang sangat
mulia lagi daripada aku yaitu masjid. Akankah kau seperti itu?”
Jantungku tiba-tiba mendadak
berhenti dan…
“Aku ingat semuanya. Aku tak
pernah bersimpuh dihadapan-Nya, seruan-Mu pun ku acuhkan, aku hanya mementingkan
nafsuku. T’lah seberapa tebalkah dosa yang melumuri diriku? Sampai-sampai
sungai ini menegurku seperti ini. Apakah ini utusan dari Engkau Ya ALLAH? Aku
pun tak pernah bersholawat kepada Sang Rasul. Sangat sombongnya aku ini. Alam
saja sudah tak suka padaku apalagi Engkau Ya ALLAH. Akankah Engkau memasukkanku
ke Neraka Jahannam?”
Aku menangis tak kuasa menahan
dosa-dosaku. Aku pasrah sudah kepada ALLAH SWT. Aku memang manusia biadab yang
tak tau malu. Aku memang manusia bodoh yang seharusnya diazab sebesar-besarnya.
“Engkau akhiri sudah hidup sampai
di sini Ya Allah…..”
Orang berjubah itu tiba-tiba
mengangkat kepalaku dan berkata sesuatu padaku,
“Bangkitlah nak, perjalananmu
masih panjang. Kau harus merubah ini semua menjadi yang lebih baik.”
“Tapi, dosaku sudah menggunung.
Aku tak bisa berbuat apa-apa.”
“Bangkit dan lihatlah nak,
Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan
padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam
tanaman yang indah dipandang mata (QS. Qaaf : 50/8)
Aku bangkit dan mulai menghapus
air mataku dan sejak hari itu hidupku berubah.
***
1 Januari ku kali ini sudah tidak
seperti dulu lagi. Ibuku sudah bersama-Nya di surga. Ku sudah memiliki
seseorang yang menemani hari-hariku untuk menjalani hidup. Sawah peninggalan
Bapak pun sekarang t’lah subur kembali. Alhamdulillah ALLAH SWT masih
mengijinkanku untuk merubah ini semua. Sampai akhirnya aku sukses menjadi
seorang guru mengaji di salah satu TPA dekat rumah dengan diiringi menjadi
seorang petani jeruk.
Terima kasih Ya ALLAH…..
0 komentar:
Posting Komentar